Monthly Archives: March 2008

Wawancara Virtual tentang Absorpsi dan Refleksi Gelombang Suara dalam Ruang.

1. Apa yang dimaksud dengan koefisien serap atau pantul dan bagaimana orang dahulu menentukan tingkat koefisien ini (mungkin dengan alat atau apa begitu?)

JS: Setiap permukaan yang didatangi oleh gelombang suara akan memantulkan, menyerap dan meneruskan energi suara yang datang. Perbedaan besarnya porsi energi suara yang dipantulkan dan yang diserap terhadap energi suara yang datang akan menentukan sifat material tersebut. Apabila porsi yang dipantulkan lebih banyak daripada yang diserap, maka material akan disebut sebagai pemantul (reflector), dan sebaliknya apabila porsi yang diserap lebih banyak, maka material cenderung akan disebut sebagai material penyerap suara. Porsi energi inilah yang kemudian digunakan sebagai cara untuk menyatakan koefisien serap (absorption coefficient). Koefisien serap per definisi adalah perbandingan energi suara yang diserap oleh material terhadap energi suara yang datang padanya. Bila harga koefisien ini besar (katakan lebih dari 0.2), maka material akan disebut sebagai bahan penyerap suara. Sebaliknya bila koefisien ini kecil (kurang dr 0.2), maka akan disebut bahan pemantul.

Cara pengukuran koefisien serap (absorption coefficient) ada beberapa macam. Yang paling sederhana adalah menggunakan apa yang disebut Tabung Impedansi. Pada cara ini, bahan diletakkan di salah satu ujung tabung, dan sumber suara di ujung yang lain. Dua microphone yang diletakkan diantaranya (dalam konfigurasi 1 garis atau berhadapan) kemudian digunakan untuk mengukur perbedaan impedansi akustik medan suara yang dihasilkan. Dari perbedaan itu kemudian diturunkan harga koefisien serap bahan. Koefisien serap yang diukur dalam hal ini adalah koefisien serap arah tegak lurus bahan. Biasanya cara tersebut digunakan untuk mengukur harga koefisien serap dari material-material baru.

Cara kedua adalah menggunakan pengukuran perbedaan waktu dengung (reverberation time, RT) di dalam ruang dengung (reverberation chamber). Ruang dengung adalah ruang Lab khusus yang seluruh permukaannya bersifat sangat reflektif dan diffuse, serta tidak ada satupun permukaannya yang sejajar, untuk menciptakan medan diffuse pada seluruh titik dalam ruang. Dalam cara ini, dilakukan 2 kali pengukuran RT: dalam kondisi ruang dengung kosong dan setelah bahan yang diukur dipasangkan pada salah satu permukaan ruang dengung (biasanya di lantai). Dari perbedaan RT ini kemudian dihitung harga koefisien serap (koefisien absorpsi). Koefisien yang terukur tentu saja bukan hanya arah tegak lurus, tetapi arah datang suara secara keseluruhan (random). Harga koefisien serap yang diukur dengan cara inilah yang biasanya digunakan sebagai standard koefisien absorbsi bahan akustik. Cara lain yang juga digunakan adalah dengan mengukur kecepatan akustik pada permukaan bahan dengan menggunakan metode pengukuran Intensitas (2 microphone berhadapan) atau dengan bantuan Sinar Laser.

Harga Koefisien serap (absorpsi) tentu saja merupakan fungsi frekuensi. Penyerapan pada frekuensi tinggi lebih banyak ditentukan oleh pori-pori (bukaan) pada bahan, sedangkan pada frekuensi rendah ditentukan oleh rapat massa (densitas) bahan.

2. Bagaimana peran tingkat pantul ini dalam pemilihan material akustik untuk ruang besar atau kecil (didalam rumah, untuk fungsi home theater atau ruang musik).

JS: Peran porsi pemantulan (juga penyerapan) dalam ruang tentu saja akan sangat bergantung pada fungsi ruangan itu secara akustik. Jika porsi pemantulan lebih banyak maka tentu saja jumlah pemantulan akan lebih banyak dan energi suara akan lebih lama terdengar dalam ruang, sebaliknya jika porsi penyerapan dalam ruang lebih banyak, maka pemantulan lebih sedikit dan energi suara lebih cepat hilang (tidak terdengar). Kondisi ekstrem untuk tingkat pantulan adalah ruang dengung, sedangkan kondisi ekstrem untuk tingkat penyerapan adalah ruang anti dengung (an echoic chamber). Ruang-ruang di dunia terletak diantara kedua ekstrem tersebut. Dengan memperhatikan ini, maka dalam penentuan porsi penyerapan dan pemantulan dalam ruangan tentunya harus memperhatikan ruang tersebut akan difungsikan untuk apa.

Pada ruang besar, apabila tidak diinginkan ada amplifikasi electronik (seperti pada ruang konser symphoni) maka sebisa mungkin dihindari pemakaian bahan penyerap, karena memang diinginkan energi suara terdengar cukup lama di dalam ruangan tersebut. Sedangkan apabila ruangan memang lebih ingin menonjolkan suara dari sistem tata suara (sound system) atau amplifikasi electronic, maka tentu saja harus digunakan sebanyak mungkin bahan penyerap.

Pada ruang kecil, secara prinsip sama dengan ruang besar. Pada kasus home theater, karena medan suara yang dihasilkan sebenarnya sudah terintegrasi dalam sistem tata suara, maka sebenarnya semakn banyak bahan penyerap akan semakin baik. Akan tetapi, secara psikologis, orang tidak akan nyaman jika berada di dalam ruangan yang terlalu besar porsi penyerapannya (mati, atau death room), terutama dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu biasanya digunakan kombinasi penyerapan dan pemantulan, dan terkadang mengaplikasikan bahan diffusor untuk menjaga porsi penyerapan dan pemantulan yang tidak terlalu besar.

Pada intinya, bila memang diinginkan untuk mendengarkan murni dari sistem tata suara yang terpasang saja (contohnya pada ruang kontrol studio) maka gunakan porsi penyerap suara sebanyak mungkin, tetapi bila diinginkan ada interaksi dari ruangan, dengan demikian jumlah komponen tata suara bisa minimal, maka gunakan kombinasi dari pemantul dan penyerap dalam ruangan. Sekedar mengingatkan, sistem 5,1, 7.1 dsb sebenarnya digunakan untuk mensimulasikan medan suara (pantulan dari samping, belakang, reverb dsb) yang kita inginkan. Kalo  kita bisa membuat ruangan sedemikian rupa sehingga pendengar bisa mendapatkan envelopment yang cukup, maka sumber suara di depan (stereo) saja barangkali menjadi cukup.


3. Bagaimana penggunaan bahan yang serapnya atau pantulnya tinggi dan bagaimana yang sebaliknya. ?

JS: Sudah saya jawab diatas, tetapi pada umumnya bahan yang daya serapnya tinggi biasanya digunakan untuk mengendalikan ekses tingkat tekanan suara yang terlalu tinggi pada posisi dan frekuensi tertentu, sebaliknya bahan dengan koefisien pantul tinggi (bahan keras) digunakan bila diinginkan untuk memantulkan energi suara ke tempat yang jauh dari sumber, misalnya untuk reflector diatas panggung. Sekali lagi, penggunaan dan penempatannya akan sangat berganung pada fungsi ruang.


4. Dalam beberapa ruang misalnya, ruang audiotorium, atau ruang yang pernah bapak kerjakan, bagaimana bapak menentukan dari awal rencana, perletakkan material dengan tingkat akustik tertentu di tiap lokasi yang ada di ruang tsb (misalnya apakah di ceiling perlu diberi absorber yang sangat menyerap dll)

JS: Pertama saya akan menanyakan ke user, apakah akan digunakan sistem tata suara (sound system) tidak dalam ruangan. Bila tidak maka saya akan mengoptimalkan porsi pemantulan dan penyerapan dalam ruang. Sebisa mungkin, setiap titik pendengar dalam ruang mendapatkan porsi energi yang seimbang. Sehingga porsi pemantulan (either dari atas atau samping, tetapi BUKAN dari belakang) untuk daerah yang jauh dari sumber harus lebih besar dari yang dekat sumber suara. Baru dari sana saya akan memilih jenis permukaannya, apakah penyerap flat, atau grid atau resonator; apakah pemantul flat, curve atau diffusor, dsb. Bila digunakan sistem tata suara (either karena user meminta atau memang sesuai peruntukkannya ruang harus menggunakannya), maka saya lebih cenderung tetap mengoptimalkan porsi penyerapan dan pemantulan ruang, dan menggunakan jumlah dan daya loudspeaker se minimal mungkin. Layout sistem tata suara akan menjadi bagian terintegrasi dari sistem akustika ruangan.

5. Adakah rumus yang mengkaitkan tingkat serap material dengan kondisi ruang atau hal lain yang menyangkut ruang?

JS: Rumus pertama dan yang masih sering digunakan orang dalam penentuan porsi penyerapan adalah rumus Sabine, yang berbasis pada waktu dengung ruang global (RT60). Rumus ini menghubungkan antara Volume (V) dan Luas Permukaan (S) dalam ruangan serta rata-rata koefisien penyerapan (alpha_r)  permukaan ruangan dengan waktu dengung, dimana RT = (konstanta x V/S.alpha_r). Rumus ini dapat digunakan sebagai acuan awal untuk menentukan porsi penyerapan (dan pemantulan) dalam ruang. Tetapi bila diinginkan lebih detail karakteristik mendengar untuk setiap titik pendengar, maka rumus tersebut menjadi tidak akurat lagi. Metode respon Impulse lah kemudian yang biasa diambil sebagai tools untuk menentukan karakteristik pada titik-titik tersebut.

Dengan perkembangan teknologi komputasi saat ini, maka sudah jamak kemudian desainer menggunakan tools modeling (komputer) untuk mendesain akustik ruangan. Sebagian besar software modeling dikembangkan berdasarkan metode ray tracing (menganggap berkas suara dari sumber sebagai cahaya, dan bahan interior ruangan sebagai cermin) dan metode Image (menggunakan sumber virtual). Digabungkan dengan metode Impulse Response (monoaural maupun binaural), maka software kemudian bisa memberikan simulasi kondisi mendengar di setiap titik dalam ruangan, sebelum ruangan dibangun. Konsepnya diberi nama Auralisasi.

                                                                                     
6. Dalam sebuah ruang home theater atau musik, apa yang membedakan pemakaian material keduanya dalam hal tingkat serap/pantul material akustik?

JS: Sebagian sudah saya jawab di paragraf sebelumnya, perbedaan utamanya tentu saja ditentukan oleh user ingin mendengarkan musik/film dengan cara bagaimana. Apakah murni dari loudspeakernya atau memasukkan karakter akustik ruangannya juga. Bila yang pertama yang dipilih, ya gunakan porsi penyerapan sebanyak mungkin karena yang ingin didengarkan adalah medan yang sudah disimulasikan oleh sistem.  Apabila yang kedua yang diinginkan, maka optimalkan porsi akustika ruang, minimalkan layout sistem tata suaranya. Misalnya dengan menggunakan sistem stereo diinginkan mendapatkan enveloping medan suara yang cukup.


7. Bisakah memperkirakan dan membedakan tingkat redaman/pantulan material secara kasat mata tanpa(hanya dilihat dan dipegang materialnya) dari beberapa material yang berbeda?.

JS: Jawabannya bisa. Pada umumnya bahan penyerap suara bersifat lunak, berserat dan banyak memiliki bukaan micro (pori), sedangkan bahan pemantul biasanya keras dan tertutup porinya. Contoh bahan penyerap: korden tebal, rockwool, cellulose fibre, kapuk, acoustic tile, spon, karpet dsb. Contoh bahan pemantul: beton, GRC, Gypsum, bata plastered, dsb. Bahan penyerap juga bisa berupa sistem, misalnya Grid Absorber. Bila dilihat dari luar yang tampak adalah bilah2 kayu yang disusun bercelah, tetapi dibaliknya ada Rockwool. Diffusor sendiri disamping memiliki sifat menyebarkan energi suara yang datang padanya, juga memiliki porsi penyerapan yang cukup besar karena bentuknya. Yang perlu diperhatikan adalah pada saat kita mendesain porsi penyerapan dan pemantulan, maka medan suara yang kita kendalikan adalah yang berada dalam ruangan. Energi suara yang diserap bahan sebagian akan diubah menjadi energi panas akibat getaran dalam pori2 bahan, dan sebagian lagi akan diteruskan ke ruangan dibelakang bahan (diluar ruangan). Bila diinginkan suara dari dalam ruangan tidak ingin terdengar dari luar (dan sebaliknya suara dari luar tidak nyelonong masuk ruangan) maka perlu juga didesain sistem insulasi ruangan. Konsep dasar insulasi tentu saja akan berbeda dengan konsep pengendalian medan akustik dalam ruangan. Ide dasar insulasi adalah tutup semua celah yang memungkinkan suara lewat dan gunakan massa sebesar mungkin. So adalah salah jika menyebut Rockwool adalah bahan insulasi, yang benar adalah Rockwool adalah bahan penyerap suara. Walaupun demikian Rockwool dapat digunakan sebagai bagian dari sistem insulasi, karena sifat penyerapannya.

Metode-metode untuk Menentukan Dimensi ruang yang Benar (bagian 2 dari 3)

Banyak rasio ruang optimum yang disarankan para ahli selama bertahun-tahun ini untuk mengatasi coloration. Pada dasarnya metode-metode tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan modes ruangan, terutama untuk modes-modes frekuensi yang terkumpul dalam bandwidth yang sempit, dan juga untuk perubahan bandwidth akibat ketidakhadiran modes. Metode-metode penentuan rasio ruangan tersebut biasanya dimulai dengan persamaan matematik yang mendefinisikan frekuensi modes yang berada dalam ruangan dengan dinding rigid. Seringkali ukuran dimensi terbaik diberikan dalam bentuk rasio terhadap dimensi ruangan terkecil. Bolt [1] telah meneliti rata-rata jarak antar mode untuk mendapatkan jarak antar modes yang evenly spaced, walaupun dari sisi statistik pemakaian rata-rata suatu parameter tidaklah ideal, standard deviasi akan memberikan ukuran yang lebih baik. Rasio ruangan 2:3:5 dan 1: 21/3:41/3 (1:1.26:1.59 atau seringkali dibulatkan menjadi  1:1.25:1.6) diusulkan oleh Bolt, tetapi dia juga memberikan catatan bahwa masih banyak ukuran lain yang memenuhi kriteria jarak antar modes. Gilford [2] mendiskusikan metode yang lebih fleksibel dimana dilakukan penghitungan modes-modes frekuensi  dan dibuatkan list rasio ruangan yang memenuhi standard. Hasil list kemudian dikelompokkan dan diadjust serta dihitung ulang untuk mendapatkan distribusi modes yang merata dan memenuhi standard yang ada. Gilford juga menyatakan bahwa rasio 2:3:5 dari Bolt tidak populer lagi, dan modes axial harus lebih diperhatikan karena biasanya modes axial inilah yang menyebabkan banyak problem. Louden [3] menghitung distribusi mode untuk banyak rasio ruangan dan mempublikasikan sederet dimensi yang memenuhi kriteria berdasarkan standard deviasi dari jarak antar modes frekuensi yang memenuhi criteria evenly spaced modes. Metode ini menghasilkan rasio yang banyak dikenal dan dipakai orang 1:1.4:1.9.Batasan cara perhitungan yang sudah dilakukan adalah:

  • Perhitungan dan rasio dimensi ruangan hanya berlaku untuk ruangan persegi panjang dengan permukaan dinding, langit-langit dan lantai yang rigid.
  • Absorpsi/penyerapan energi suara oleh permukaan ruangan diabaikan.
  • Semua tipe modes (axial, tangential, oblique) diperlakukan sama.

Standard-standard dan rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan ukuran/rasio ruangan tersebut juga memberikan efek pada kebutuhan rasio dimensi ruangan untuk keperluan khusus, misalnya ruangan untuk listening test, broadcasting, dan sebagainya. Misalnya penelitian yang dilakukan Walker [4]. Walker menyatakan bahwa tujuan dari regulasi adalah untuk menghindari kasus terburuk, daripada memberikan solusi yang optimal. Sebagai konsekuensinya, rekomendasi-rekomendasi yang ada mencakup rasio dimensi ruang dengan range yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan matematik berikut, dimana Lx, Ly dan Lz adalah dimensi panjang, lebar dan tinggi ruangan.

RatioRuang

Methoda Baru

 Telah diperkenalkan sebuah metode baru yang dibuat berdasaran pembentukan response ruang yang paling merata (flat) terhadap modes-modes frekuensi untuk mendapatkan rasio dimensi ruang yang terbaik. Metode ini dibuat dengan menggunakan algoritma komputer untuk mendapatkan solusi yang terbaik[5]. Lebih dari itu, algoritma penentuan dimensi ruang ini telah dikembangkan lebih jauh (dibahas lebih detail dalam referensi [5]) untuk melihat dimensi-dimensi ruang yang robust (tagak) terhadap perubahan ukuran ruang akibat toleransi ukuran ruang dan konstruksi material yang digunakan dalam ruangan tersebut. 

“(c) University of Salford, www.acoustics.salford.ac.uk  

Referensi 

  1. R.H.Bolt. Note on the normal frequency statistics in rectangular rooms. J.Acoust.Soc.Am. 18(1) 130-133. (1946).
  2. C.L.S.Gilford. The acoustic design of talk studios and listening rooms. J.Audio.Eng.Soc. 27. 17-31. (1979).
  3. M M Louden. Dimension ratios of rectangular rooms with good distribution of eigentones. Acustica. 24. 101-104 (1971).
  4. R. Walker. Optimum Dimension Ratios for Small Rooms. Preprint 4191. 100th Convention of the AES. (5/1996).
  5. Trevor J Cox and Peter D’Antonio. Determining Optimum Room Dimensions for Critical Listening Environments: A New Methodology. Proc 110th Convention AES. paper 5353 (2000) 

Mengapa harus memilih ukuran ruangan yang benar? (Bagian 1 dr 3)

Selama bertahun-tahun banyak orang menyarankan rasio ukuran ruang yang baik untuk meminimalkan distorsi kondisi mendengar dalam ruang akibat modes ruang pada frekuensi rendah. Rasio-rasio yang berkembang kemudian dikenal dengan nama “Golden Ratio”. Meskipun demikian, golden ratio tersebut tidak selalu merupakan dimensi terbaik yang bisa dipilih untuk sebuah ruangan. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengamati perilaku suara khususnya frekuensi rendah dalam ruang dengar kecil (small listening rooms). Artikel singkat ini akan coba mengulas beberapa hasil penting yang ditemukan para peneliti tersebut dan bisa juga pembaca simpulkan kemudian sebuah pertanyaan klasik, apakah ada ruang dengar yang ideal?
Suara yang didengar dalam sebuah ruang dengar yang didesain secara khusus, entah berupa ruang home theatre, listening room dan sebagainya, ditentukan oleh efek kombinasi dari peralatan electronik audio yang terpasang dalam ruangan tersebut dan karakteristik fisik akustik dari ruangan. Ingat bahwa sebuah suara hanya akan terjadi jika ada sumber, medium penjalaran dan pendengar. Jadi pemilihan jenis elektronik audio dan penataan ruang memiliki porsi yang sama penting. Keseimbangan nada dan warna suara dapat berbeda secara signifikan bergantung pada penempatan titik pendengar, titik loudspeaker dan geometri ruangan. Tentu saja modes, terutama pada frekuensi rendah, yang dihasilkan oleh ruang akan sangat berpengaruh. Sehingga, interaksi antara sumber, pendengar dan modes ruang menjadi penting.
Modes dalam ruang-ruang kecil biasanya akan menciptakan sound decay yang berlebih dan respons frekuensi yang tidak sempurna, yang biasa dikenal sebagai coloration. Problem yang terjadi pada frekuensi rendah biasanya karena jumlah modes yang sangat sedikit. Para desainer akustik biasanya menyelesaikan persoalan ini dengan memilih dimensi ruang yang cocok, atau menempatkan posisi pendengar dan titik-titik loudspeaker pada titik-titik yang benar atau menggunakan bass trap.
Penentuan posisi yang tepat untuk titik loudspeaker dan pendengar seringkali dilakukan dengan metode coba-coba. Sangat mungkin, metode ini memberikan hasil yang baik. Saat sumber suara (loudspeaker) atau titik pendengar dipindahkan, response frekuensi ruang akan berubah karena adanya variasi distribusi mode tekanan suara dalam ruang dan merubah tahanan radiasi suara dari sumber. Dengan memilih posisi-posisi yang benar dalam ruang, dimungkinkan untuk meminimalisasi pengaruh mode dalam ruang. Selain modes (kondisi tunak), orang juga seringkali mempertimbangkan pengaruh dari pantulan suara pertama yang dihasilkan oleh batas-batas ruangan terhadap respons frekuensi ruangan. Terutama pantulan-pantulan pertama yang dihasilkan oleh bidang-bidang di dekat sumber suara (loudspeaker). [1]. Metode optimasi untuk melihat pengaruh pantulan pertama ini juga telah dikembangkan [2].

 

“(c) University of Salford, www.acoustics.salford.ac.uk”

Pada frekuensi-frekuensi rendah, ruangan mengalami problem yang diakibatkan modes. Gambar diatas menunjukkan tipikal respons frekuensi dari ruangan tertutup. Apapun bentuk ruangannya, akan tetap ada daerah frekuensi rendah dimana modes nya sparsely spaced , yang menyebabkan kualitas suara yang buruk, misalnya waktu dengung yang lama pada frekuensi tersebut akan menyebabkan suara terdengar lebih dominan dibandingkan pada frekuensi-frekuensi lain. Masalah tersebut tentu saja bisa diselesaikan dengan mereduksi energi suara pada frekuensi terkait, misalnya dengan memasang penyerap suara. Akan tetapi, akan lebih murah dan lebih mudah, apabila dimensi ruang sudah dipertimbangkan dengan baik.

referensi
[1] Loudspeaker and Headphone Handbook” 2nd Edition. Edited by John Borwick. Focus Press, ISBN 0-240-51371-1.
[2] T J Cox and P D’Antonio. Room Optimizer: A Computer Program to Optimize the Placement of Listener, Loudspeakers, Acoustical Surface Treatment, and Room Dimensions in Critical Listening Rooms”, 103rd Convention of the Audio Engineering Society, Preprint 4555, Paper H-6, New York (September 1997).
“(c) University of Salford, www.acoustics.salford.ac.uk”